Force majeure atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan “keadaan kahar” adalah suatu peristiwa yang tidak dapat diantisipasi oleh pandangan ke depan manusia atau yang jika mencoba untuk diantisipasi, terlalu kuat untuk dikendalikan. Pada akhir tahun 2019 tepatnya di bulan November, dunia digemparkan dengan munculnya sebuah virus baru yang diberi nama Corona Virus Disease-2019 . Virus ini pertama kali ditemukan di Wuhan, China dan menyebar dengan sangat masif ke seluruh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini menyebabkan Pemerintah Negara Republik Indonesia pada bulan April 2020 memilih untuk menutup akses masuk Orang/Wisatawan terutama di luar negeri dan menyatakan nasional wabah Covid-19 sebagai bencana non alam sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional .

Musibah Bencana Nasional Nonalam Covid-19 yang membatasi aktivitas orang-orang terutama aktivitas orang untuk melakukan perjalanan dan wisata, memberi dampak secara langsung dan sangat signifikan bagi ekonomi masyarakat khususnya di Provinsi Bali yang sebagian besar masyarakatnya bekerja di sektor pariwisata. Selain itu para pengusaha pariwisata banyak yang menutup operasional pusat wisata karena sama sekali tidak ada pariwisata yang datang ke Bali, dimana hal tersebut pula pada “Perusahaan X ” akibat adanya bencana Nasional Nonalam Covid-19 yang merupakan tindakan tuhan. Akibat tidak adanya pengunjung/wisatawan yang datang ke Bali khususnya hotel milik Klien, maka pada akhir Bulan Maret 2020 perusahaan tersebut kemudian memutuskan untuk menutup sebagian (50%) fasilitas yang ada di hotel, hingga pada bulan Mei 2020 Perusahaan memutuskan untuk menutup seluruh operasional hotel termasuk meliburkan seluruh Pekerja. Keputusan tersebut diambil karena Klien telah menderita kerugian yang sangat besar akibat adanya musibah Nasional Nonalam Covid-19 yang menyebabkan terpuruknya pariwisata di Provinsi Bali karena tidak ada kunjungan wisatawan ke hotel.

Bahwa selama ini Klien telah berusaha dengan segala daya dan upaya untuk mempertahankan agar tidak ada pekerja di akhir pekerjaan, namun tidak terbatas pada pengambilan cuti, hari libur, sistem kerja bergilir, serta sebagian besar pekerja, bahkan Klien mengikuti rekomendasi dari Serikat Pekerja di hotel tersebut untuk menawarkan paket “Pengunduran Diri Secara Sukarela”, namun kenyataanya usaha tersebut belum cukup untuk melawan dampak adanya bencana Nasional Nonalam Covid-19 bagi keberlangsungan perusahaan khususnya para pekerja yang masih bekerja di perusahaan. Perusahaan merundingkan rencananya untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap Pekerja sekitar 110 Pekerja Pengurus Serikat Pekerja Unit Hotel, namun Pengurus Serikat Pekerja berkeberatan terhadap tujuan tersebut. Namun, karena tidak ada opsi lain, maka Klien secara terpaksa memutuskan untuk melakukan PHK terhadap 100 (seratus) orang pekerja. Keputusan tersebut terpaksa diambil karena selain menderita kerugian yang sangat besar akibat musibah Bencana Nasional Nonalam Covid-19,

Sebagaimana kita ketahui bersama musibah Bencana Nasional Nonalam Covid-19 terjadi diluar kendali manusia yang terjadi di atas Kehendak Tuhan sehingga tidak mudah untuk memprediksi kapan bencana akan berakhir dan meningkatkan ketidakpastian sektor pariwisata khususnya di Provinisi Bali, keadaan tersebut jelas merupakan Keadaan Kahar ( Force Majeure ) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 164 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Ketenagakerjaan) diatur sebagai berikut:

 “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) ) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Berdasarkan ketentuan Pasal 164 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan di atas, maka Keputusan Klien untuk melakukan Pemutusan Hubungan dengan pekerja karena tidak dapat mengatasi musibah Bencana Nasional Nonalam Covid-19 yang merupakan Tindakan Tuhan yang mengakibatkan Klien menderita kerugian dan guna mencegah kerugian yang semakin besar Klien harus menutup operasional secara total sejak bulan Mei 2020 adalah berdasarkan atas hukum. Didasarkan pada ketentuan Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan jo. Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tersebut diatas dan pemecahan keputusan Client terkait PHK terhadap 100 (seratus) orang pekerja tersebut diatas, Client melalui Manajemen Hotel kemudian mengirimkan Surat Pemutusan Hubungan Kerja kepada 100 (seratus) orang pekerja tertanggal 28 September 2020 yang efektif berlaku sejak tanggal 01 Oktober 2020 dengan dasar Klien telah menderita kerugian yang disebabkan tutupnya operasional Hotel akibat adanya bencana Bencana Nasional Nonalam Covid-19 beserta kompensasi yang berhak diterima oleh Para Pekerja yang memutuskan hubungan tersebut sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan tentang Ketenagakerjaan yang berlaku.

Klien dengan Para Pekerja yang diwakili oleh Serikat Pekerja Mandiri Hotel (SPM Hotel) telah beberapa kali melakukan Perundingan Bipartit bertempat di Hotel, namun dari hasil Pertemuan Bipartit tersebut, tidak ditemukan mufakat terkait keberatan Para Pekerja yang telah putus hubungan kerjanya dengan Klien. Karena tidak ditemukan mufakat dalam Perundingan Bipartit tersebut diatas, Client kemudian mengajukan permohonan mediasi kepada Kepala Disperinaker Kab. Badung, agar difasilitasi untuk dilakukan Mediasi (Tripartit) antara Klien dengan Para Pekerja. Mediasi ini dipimpin oleh Mediator Hubungan Industrial Disperinaker Kab. Badung. Setelah beberapa kali dilaksanakan Perundingan Tripartit antara Client dengan Para Pekerja tetap pada sikapnya masing-masing, di satu sisi Para Pekerja ingin untuk disakiti kembali oleh Client.

Di sisi lain Keputusan Klien untuk melakukan PHK terhadap Para Pekerja adalah keputusan akhir dari Klien yang telah dipertimbangkan dari segala aspek termasuk kejadian yang sangat terkait dengan kondisi bencana Nasional Nonalam Covid-19. Sehingga dalam Perundingan Tripartit tersebut tetap tidak ditemukan mufakat antara Klien dan Para Pekerja, oleh karena itu Mediator Hubungan Industrial Disperinaker Kab. Badung kemudian menerbitkan Anjuran yang pada pokoknya memikirkan agar Klien mempertimbangkan kembali tujuan dan tujuan untuk melakukan PHK terhadap para pekerja. Mengingat sifat Anjuran Mediator Hubungan Industri tersebut hanya merupakan rekomendasi yang tidak mengikat Para pihak khususnya Klien maupun Para Pekerja, maka terhadap Anjuran tersebut Klien menolaknya.

Adapun Pertimbangan Hakim dalam penanganan perkara tersebut di atas adalah sebagai berikut:

  1. Menimbang, bahwa pangkal pokok hubungan industrial a quo diterbitkannya Surat Pemutusan Hubungan Kerja oleh Perusahaan terhadap Para Pekerja;
  2. Menimbang, bahwa saksi ahli yang diajukan oleh Perusahaan dan saksi ahli yang diajukan oleh Para Pekerja berpendapat sama bahwa istilah/terminologi keadaan kahar, force majeure dan overmacht (Rebus Sic Stantibus) adalah suatu keadaan yang sama;
  3. Menimbang, bahwa Majelis Hakim perlu menilai apakah kondisi atau keadaan dari Perusahaan memang benar mengalami keadaan terpaksa (overmacht), keadaan sulit / terbebani (Hardship) atau Force Majeure atau keadaan kahar pada saat melakukan pemutusan hubungan kerja Para Pekerja serta berdasarkan kekhususan perkara ini Majelis Hakim merasa perlu menggali sumber-sumber hukum lainnya selain yang diatur dalam Buku III KUHPerdata mengenai keadaan kahar, force majeure, overmacht dan keadaan-keadaan lainnya yang serupa, untuk menjelaskan fakta-fakta hukum yang ada;
  4. Menimbang, bahwa disamping berlakunya Pasal 1244 KUHPerdata dan Pasal 1245 KUHPerdata tentang force majeure dan kesulitan atau rebus sic stantibus, ternyata dalam Pasal 7.1.7 UPICC juga mengatur tentang force majeure sebagai berikut:
    1. Debitur harus membuktikan ketiadaan pelaksanaan prestasi yang disebabkan oleh adanya hambatan diluar kemampuannya, sebelum tenggang waktu pelaksanaan lewat (jatuh tempo);
    2. Hambatan tersebut tidak dapat diduga secara wajar pada saat penutupan kontrak;
    3. Untuk hambatan yang bersifat sementara menahan hambatan pelaksanan prestasi diberikan dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap pelaksanaan prestasi;
    4. Debitur wajib memberitahukan kepada kreditur mengenai terjadinya force majeure secara patut, apabila kewajiban pemberitahuan ini tidak dilakukan maka debitur bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan tersebut;
  5. Menimbang, bahwa selain kondisi force majeure, ternyata terdapat kondisi keadaan sulit (Hardship) / rebus sic stantibus yang dialami Perusahaan dimana kondisi tersebut adalah pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak, in casu bagi Perusahaan, hal itu sesuai dengan definisi keadaan sulit (Hardship) yaitu peristiwa yang secara fundamental telah mengubah keseimbangan kontrak, yang disebabkan oleh biaya pelaksanaan kontrak meningkat sangat tinggi membebani pihak yang melaksanakan kontrak (Perusahaan) atau nilai pelaksanaan kontrak menjadi sangat berkurang bagi pihak yang menerima (Para Pekerja), dan :
    1. Peristiwa itu terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah penutupan kontrak;
    2. Peristiwa itu tidak dapat diperkirakan secara wajar oleh pihak yang ditembak pada saat penutupan kontrak;
    3. Peristiwa yang terjadi diluar kendali pihak yang dirugikan;
    4. Resiko dari peristiwa itu tidak diduga oleh pihak yang dirugikan;
  6. Menimbang, bahwa pemotongan upah yang dilakukan oleh Perusahaan sejak bulan April 2020 sampai 1 Oktober 2020 ternyata tidak diperselisihkan sebelum perkara ini disidangkan, dan bahkan Para Pekerja malah hanya menggugat Perusahaan terkait dengan iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, upah dan THR yang semuanya untuk periode Oktober 2020 sampai dengan September 2021, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa berdasarkan teori hukum / doktrin tentang hak (Rechtverwerking), demi hukum harus menilai bahwa Para Pekerja mengakui dan membenarkan telah melepaskan haknya. Pelepasan hak ini didasarkan pada sikap Para Pekerja yang menerima prestasi dari Perusahaan meskipun prestasi tersebut tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. sikap ini dapat terjadi secara eksplisit (tegas) atau implisit (diam-diam);
  7. Menimbang, bahwa kesulitan yang dialami oleh Perusahaan juga dialami oleh pelaku bisnis secara global (dunia), maka kerugian finansial yang dialami oleh Perusahaan demi hukum layak sebagai fakta notoir yang kebenarannya tidak perlu dibuktikan lagi;
  8. Menimbang, bahwa pemberi kerja dalam hal ini Perusahaan, yang telah melakukan rencana darurat terhadap beberapa karyawannya (termasuk Saksi) Para Pekerja, harus dinilai telah sesuai dan atau merujuk pada Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan, sehingga dapat menyesuaikan besaran dan cara pembayaran upah di tengah wabah COVID -19, harus dinilai sebagai upaya maksimal dan terakhir dari Perusahaan untuk menyelamatkan usahanya dan mempertahankan hidup sebagian para karyawannya yang tersisa;
  9. Menimbang, bahwa Force Majeure atau Overmacht atau Keadaan memaksa mengakibatkan perikatan tersebut, dalam hal perjanjian berupa kerja, tidak berdaya melaksanakan dan atau tidak lagi bekerja (werking), walaupun perikatannya sendiri tetap ada, sehingga Majelis Hakim menilai upah yang tidak dibayar penuh oleh Perusahaan kepada Para Pekerja selama terjadinya pandemi Covid 19 harus dinilai sebagai upaya maksimal dan terakhir dari Perusahaan dalam memenuhi prestasinya yang tertua dalam perjanjian kerja;
  10. Menimbang, berdasarkan bahwa hal-hal tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa Perusahaan benar-benar mengalami keadaan kahar atau setidaknya keadaan sulit (Overmacht yang bersifat relatif), sehingga sangat beralasan hukum diatas gugatan Perusahaan harus dinyatakan dengan perbaikan redaksional sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  11. Menimbang, bahwa Majelis Hakim menilai Perusahaan telah mengalami keadaan kahar atau setidaknya keadaan kesulitan (Overmacht yang bersifat relatif), dengan akibat sebagai berikut :
    1. Para Pekerja tidak dapat meminta pemenuhan prestasi
    2. Gugurnya kewajiban untuk mengganti kerugian
    3. Pihak lawan tidak perlu meminta pemutusan perjanjian
    4. Kewajiban Perusahaan untuk berprestasi (sebagaimana diperjanjikan dalam perjanjian kerja) kepada Para Pekerja hilang;

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here